credit : kolonko via vectorstock.com

 

Bila kawan-kawan sekalian aktif nongkrong dan mantengin thread di sosial media twitter, pasti lazim mendengar kabar tak enak soal kekerasan seksual yang dialami para perempuan oleh pacar yang terlihat alim dan innocent. Rata-rata perempuan baru berani speak-up setelah kejadiannya berlangsung cukup lama, lho. Pasti tekanan mental mereka tidak karuan, belum lagi membayangkan hujatan beberapa kalangan manusia yang menganggap kualitas perempuan adalah rapatnya hymen. So sad, but true. Ini dunia dimana kamu baru saja mengenal kekasih dan tetangga sudah nyinyir duluan sebelum kamu bucin. Apalagi masalah selangkangan. Yup, kali ini kita mau bahas psikologi forensik dari perilaku kekerasan seksual.

 

Artikel ini saya kemukakan berdasarkan bukunya David Canter yang berjudul “Forensic Psychology: A Very Short Introduction”. Menurutnya, banyak ahli psikologi forensik yang berpikir bahwa kriminalitas adalah produk dari beberapa gangguan otak, seperti kerusakan otak kecil akibat dari kecelakaan atau masalah pada saat kelahiran. Sebagai contoh nih, penelitian menyatakan bahwa Raja Henry VIII berbalik dari seorang raja lemah lembut yang akur dengan istrinya menjadi seorang penguasa tiran yang menyingkirkan istri seperti kemeja usang, setelah ia mendapat kecelakaan saat melakukan olahraga beladiri hingga membuatnya tak sadarkan diri selama dua jam. Hal ini dijadikan bukti bahwa kerusakan otak akibat kecelakaan mengubah kepribadian menjadi lebih agresif dan kasar. Beberapa ahli tertarik menindaklanjuti pendapat ini lebih jauh, katanya ada ‘genetik penjahat’ tercermin dalam ekspresi kromosom Y tambahan. Beberapa ahli juga mengklaim adanya ketidakseimbangan hormonal, terutama hormon testosteron pada pria.

 

Banyak pelaku yang melakukan kekerasan seksual sangat paham mengenai ilegalitas yang mereka lakukan, mereka juga tidak memiliki masalah penyakit mental tertentu. Penampilan dan karakter luar mereka menarik dan nampak cerdas sehingga menimbulkan kesan yang memikat. Siapa yang tidak tertarik punya pacar yang nampak alim, pintar, dan innocent ya wahai ciwi-ciwi? But that’s their camouflage. Saya jadi teringat lagunya Alec Benjamin berjudul the wolf and the sheep yang liriknya begini:

 

Gave away her soul to buy a bit of pleasure…

oh, the bitter pleasure…

wicked little boy who tried to steal her treasure,

for the bitter pleasure…

now they’re cursed forever, cursed together

and if you could see the look in her eyes

the wolf wore the sheep as a perfect disguise

 

Wew, merinding bayanginnya.

 

Berulang-ulang, mereka akan menyalahgunakan kebaikan dan kesan orang-orang disekitarnya, berbohong tanpa ada perintah atau penyesalan, dapat secara tidak terduga berubah menjadi kasar dan mengancam, dalam jangka waktu lama akan mulai tampak tidak dapat berkomunikasi secara efektif kepada orang lain alias bersifat batu, dan manipulatif. Beberapa sindrom psikologis yang digunakan sebagai bukti di pengadilan setidaknya pelaku maupun korban kekerasan seksual mengalami satu atau lebih sindrom diantara battered child syndrome (BCS), battered woman syndrome (BWS), child sexual abuse syndrome (CSAS), child sexual abuse accommodation syndrome (CSAAS), false memory syndrome (FMS), munchausen syndrome by proxy (MSP), parental alienation syndrome (PAS), post-traumatic stress disorder (PTSD), rape trauma syndrome (RTS), recovered memory syndrome (RMS) , dan atau traumatic brain injury (TBI).

 

Battered woman syndrome (BWS) sering digunakan sebagai bukti oleh pengacara untuk menjelaskan mengapa seorang korban yang telah menderita pelecehan fisik selama periode waktu yang lama tidak sanggup meninggalkan hubungan toxic tersebut, bahkan ketika si pelaku tidak ada atau tertidur setelah berhubungan badan. Karakteristik dari sindrom itu berupa kemampuan untuk mendikte korban menjadi tidak berdaya! Ini berbeda dari bucin ya, gaes. Bucin bisa dikategorikan kita benar-benar mencintai seseorang atau karena terobsesi. ‘Learned helplessness’ bisa kita temui pada fenomena tikus yang tidak berdaya untuk melarikan diri pada percobaan dengan alat kejut listrik. Tikus tersebut akhirnya berhenti berusaha menghindari aliran listrik dan hanya berbaring di sana dengan lesu. Jadi ketidakberdayaan ini didoktrin oleh pelaku agar si cewek tidak meninggalkan dia, sebagian dengan alasan masih mencintai, sebagian dengan alasan bahwa si cowok akan hancur masa depannya bila ditinggalkan si cewek. Beuh, memutar balikkan perasaan si korban supaya merasa bersalah, cewek mah ga tegaan, ya nggak? Ini yang bikin korban percaya terjadinya sexual abuse adalah kesalahannya juga. Terlebih lagi hal ini membuat korban berpikir mungkin ada sesuatu yang dapat dia lakukan untuk menghentikannya terjadi di masa depan, meskipun seringnya korban juga merasakan ketakutan akan hidupnya atau anak-anaknya kelak. Pelaku akan merasa puas melakukan ancaman psikologis juga, seperti mengatakan kepada korban anak-anaknya akan diambil darinya atau hidup korban akan hancur dan penuh aib yang dibenci masyarakat jika ia melaporkan kekerasan seksual. Semua ini didukung oleh keyakinan yang irasional bahwa pelaku merasa mahakuat dan mahatahu.

 

Dari pembahasan tersebut, hanya sedikiiiit persen saja dari ilmu psikologi forensik yang maha luas dan bisa jadi sangat panjang bila membahas satu persatu psikologi kejadian sexual abuse. Interogasi dan assessment pada para pelaku kriminal seperti sexual abuser dilakukan oleh psikolog forensik tanpa melibatkan ikatan emosional dan jaminan kerahasiaan yang lebih longgar, berbeda kan dengan kasus psikologi klinis biasa yang kerahasiaanya dijaga sangat ketat. Psychological autopsy harus dilakukan bila kasus kriminal tertentu diikuti dengan kematian atau tindakan bunuh diri. Selain itu, perlu adanya uji kebohongan, ketahanan emosi, geographical profiling, offender profiling yang harus dilakukan agar benar-benar mendapatkan bukti yang sesuai fakta dan mengorek adanya kebohongan. Kunci dari keberhasilan penyelesaian kasus sexual abuse adalah kesaksian korban itu sendiri karena seringkali korban merasa bersalah dan sulit untuk mengungkap kejadian yang sesungguhnya akibat adanya tekanan social judgement.

 

Daftar Pustaka

Canter, D. 2010. Forensic Psychology: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press