Foto credit : kharlamova_lv via vectorstock.com

 

Ini adalah cerita kita semua, manusia, sambil dengerin lagu Alan Walker yang berjudul Darkside seperti bercermin dengan diri sendiri. Kita tidak dapat menyangkal bahwa ada dua sisi utama yang bersemayam dalam jiwa manusia. Belas kasih dan kejahatan. Seseorang dapat dikatakan ‘baik’ bila sisi belas kasihnya berkembang secara dominan dalam melakukan penilaian atas suatu tindakan yang dilakukan dengan kata lain orang baik adalah orang yang bermoral. Bagaimana dengan seseorang yang terjebak dalam kemiskinan dan mencoba merampok sebuah supermarket untuk bertahan hidup? Bukankah bertahan hidup adalah hak setiap makhluk yang bernyawa?

Mari kita perhatikan definisi klasik kejahatan, bahwa kejahatan terdiri dari ‘sengaja berperilaku yang membahayakan, melecehkan, merendahkan, merugikan, dan menghancurkan orang lain’. Bagaimana jika saya berkata bahwa orang tersebut baik karena kemiskinanan bukanlah kejahatan, pun dengan bertahan hidup. Apakah betul pemilik supermarket itu rugi padahal kemungkinan telah mengambil laba lebih banyak dari hasil penjualan barang-barangnya? Pertanyaan terpenting adalah apakah memang terbersit keinginan merampok apabila orang tersebut diberi kekayaan? Poin kedua adalah kita sebagai manusia, seringkali melakukan hal-hal konyol yang secara tidak sadar membahayakan atau merusak diri sendiri, betul? Gak mungkin enggak karena sifat manusia berubah terus-menerus. Kenyataanya, pelaku kejahatan tidak selalu merupakan entitas supranatural atau monster atau pengaruh keduanya, mereka adalah manusia baik-baik yang hanya ingin diterima oleh orang lain. Entah bagaimana, manusia selalu ingin bernegosiasi dengan aturan. Orang yang baik dapat menjadi pelaku kejahatan ketika keadaan memungkinkan untuk melampaui batas-batas norma yang ada selama ini.

Sangat penting untuk tidak kehilangan pandangan hidup ketika ditempatkan pada atmosfir lingkungan yang buruk. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu kita selalu kalah dan akhirnya menerapkan sebagian nilai-nilai pada lingkungan buruk tersebut. Tidak lama ini istilah ‘kemiskinan struktural’ menguak begitu banyak kenyataan pahit kehidupan bahwa satu orang yang berada di lingkungan yang buruk tidak dapat mengubah keadaan secara keseluruhan kecuali sebagai pemutus mata rantai, menentang nilai-nilai yang buruk itu habis-habisan. Ditengah pandemi, warga dari kalangan yang terjerat ‘kemiskinan struktural’ merasakan sensasi dahsyat untuk melanggar berbagai banyak aturan yang diciptakan untuk kebaikan mereka sendiri. ‘Kejahatan’ yang dilakukan terlihat sepele, misalnya hanya berkerumun memperebutkan sembako untuk bertahan hidup. Sepele tetapi efeknya buruk untuk banyak orang, pun saya yakin mereka tidak ingin melakukan hal demikian karena kejahatan dibentuk oleh lingkungan yang menekan terus menerus untuk memaklumi hal yang tidak benar menjadi benar. Itulah yang dinamakan efek lucifer dalam dunia psikologi.

Sama halnya dengan kemiskinan, kekuasaan yang berlebihanpun dapat mengubah orang baik menjadi pelaku kejahatan. Tentu kita tahu tekanan kalangan elite tertentu membuat mereka tidak lagi mengenali hitam dan putih, hanya abu-abu. Zimbardo menjelaskan, dalam bukunya “The Lucifer Effect,” bahwa proses dehumanisasi tidak bisa dihindari. Situasi, dinamika sosial, dan tekanan psikologis dapat menyebabkan kejahatan bersemayam, tertidur dalam jiwa manusia yang sewaktu-waktu bangkit bila persepsi kita mengatakan ‘tidak apa-apa untuk melakukan ini, melanggar norma yang sudah tidak relevan lagi untuk kita’. Pada akhirnya integritas kita untuk berbelas kasih dan bermoral adalah satu-satunya cara untuk tidak menjadi ‘jahat’, tidak peduli seperti apapun kondisi lingkungan sosial kita.

Daftar Pustaka

Korstanje, M.E. 2013. Review of “The Lucifer Effect. Understanding How Good People Turn Evil”. Essays Philos 14:353-357