Human Deep-mind Perspective

Eternal Traveler. Let's travel to our mind. Let's dive to our soul. Let me answer your question.

Forensic Psychology : A Short Review of Sexual Abuse Crime

 

credit : kolonko via vectorstock.com

 

Bila kawan-kawan sekalian aktif nongkrong dan mantengin thread di sosial media twitter, pasti lazim mendengar kabar tak enak soal kekerasan seksual yang dialami para perempuan oleh pacar yang terlihat alim dan innocent. Rata-rata perempuan baru berani speak-up setelah kejadiannya berlangsung cukup lama, lho. Pasti tekanan mental mereka tidak karuan, belum lagi membayangkan hujatan beberapa kalangan manusia yang menganggap kualitas perempuan adalah rapatnya hymen. So sad, but true. Ini dunia dimana kamu baru saja mengenal kekasih dan tetangga sudah nyinyir duluan sebelum kamu bucin. Apalagi masalah selangkangan. Yup, kali ini kita mau bahas psikologi forensik dari perilaku kekerasan seksual.

 

Artikel ini saya kemukakan berdasarkan bukunya David Canter yang berjudul “Forensic Psychology: A Very Short Introduction”. Menurutnya, banyak ahli psikologi forensik yang berpikir bahwa kriminalitas adalah produk dari beberapa gangguan otak, seperti kerusakan otak kecil akibat dari kecelakaan atau masalah pada saat kelahiran. Sebagai contoh nih, penelitian menyatakan bahwa Raja Henry VIII berbalik dari seorang raja lemah lembut yang akur dengan istrinya menjadi seorang penguasa tiran yang menyingkirkan istri seperti kemeja usang, setelah ia mendapat kecelakaan saat melakukan olahraga beladiri hingga membuatnya tak sadarkan diri selama dua jam. Hal ini dijadikan bukti bahwa kerusakan otak akibat kecelakaan mengubah kepribadian menjadi lebih agresif dan kasar. Beberapa ahli tertarik menindaklanjuti pendapat ini lebih jauh, katanya ada ‘genetik penjahat’ tercermin dalam ekspresi kromosom Y tambahan. Beberapa ahli juga mengklaim adanya ketidakseimbangan hormonal, terutama hormon testosteron pada pria.

 

Banyak pelaku yang melakukan kekerasan seksual sangat paham mengenai ilegalitas yang mereka lakukan, mereka juga tidak memiliki masalah penyakit mental tertentu. Penampilan dan karakter luar mereka menarik dan nampak cerdas sehingga menimbulkan kesan yang memikat. Siapa yang tidak tertarik punya pacar yang nampak alim, pintar, dan innocent ya wahai ciwi-ciwi? But that’s their camouflage. Saya jadi teringat lagunya Alec Benjamin berjudul the wolf and the sheep yang liriknya begini:

 

Gave away her soul to buy a bit of pleasure…

oh, the bitter pleasure…

wicked little boy who tried to steal her treasure,

for the bitter pleasure…

now they’re cursed forever, cursed together

and if you could see the look in her eyes

the wolf wore the sheep as a perfect disguise

 

Wew, merinding bayanginnya.

 

Berulang-ulang, mereka akan menyalahgunakan kebaikan dan kesan orang-orang disekitarnya, berbohong tanpa ada perintah atau penyesalan, dapat secara tidak terduga berubah menjadi kasar dan mengancam, dalam jangka waktu lama akan mulai tampak tidak dapat berkomunikasi secara efektif kepada orang lain alias bersifat batu, dan manipulatif. Beberapa sindrom psikologis yang digunakan sebagai bukti di pengadilan setidaknya pelaku maupun korban kekerasan seksual mengalami satu atau lebih sindrom diantara battered child syndrome (BCS), battered woman syndrome (BWS), child sexual abuse syndrome (CSAS), child sexual abuse accommodation syndrome (CSAAS), false memory syndrome (FMS), munchausen syndrome by proxy (MSP), parental alienation syndrome (PAS), post-traumatic stress disorder (PTSD), rape trauma syndrome (RTS), recovered memory syndrome (RMS) , dan atau traumatic brain injury (TBI).

 

Battered woman syndrome (BWS) sering digunakan sebagai bukti oleh pengacara untuk menjelaskan mengapa seorang korban yang telah menderita pelecehan fisik selama periode waktu yang lama tidak sanggup meninggalkan hubungan toxic tersebut, bahkan ketika si pelaku tidak ada atau tertidur setelah berhubungan badan. Karakteristik dari sindrom itu berupa kemampuan untuk mendikte korban menjadi tidak berdaya! Ini berbeda dari bucin ya, gaes. Bucin bisa dikategorikan kita benar-benar mencintai seseorang atau karena terobsesi. ‘Learned helplessness’ bisa kita temui pada fenomena tikus yang tidak berdaya untuk melarikan diri pada percobaan dengan alat kejut listrik. Tikus tersebut akhirnya berhenti berusaha menghindari aliran listrik dan hanya berbaring di sana dengan lesu. Jadi ketidakberdayaan ini didoktrin oleh pelaku agar si cewek tidak meninggalkan dia, sebagian dengan alasan masih mencintai, sebagian dengan alasan bahwa si cowok akan hancur masa depannya bila ditinggalkan si cewek. Beuh, memutar balikkan perasaan si korban supaya merasa bersalah, cewek mah ga tegaan, ya nggak? Ini yang bikin korban percaya terjadinya sexual abuse adalah kesalahannya juga. Terlebih lagi hal ini membuat korban berpikir mungkin ada sesuatu yang dapat dia lakukan untuk menghentikannya terjadi di masa depan, meskipun seringnya korban juga merasakan ketakutan akan hidupnya atau anak-anaknya kelak. Pelaku akan merasa puas melakukan ancaman psikologis juga, seperti mengatakan kepada korban anak-anaknya akan diambil darinya atau hidup korban akan hancur dan penuh aib yang dibenci masyarakat jika ia melaporkan kekerasan seksual. Semua ini didukung oleh keyakinan yang irasional bahwa pelaku merasa mahakuat dan mahatahu.

 

Dari pembahasan tersebut, hanya sedikiiiit persen saja dari ilmu psikologi forensik yang maha luas dan bisa jadi sangat panjang bila membahas satu persatu psikologi kejadian sexual abuse. Interogasi dan assessment pada para pelaku kriminal seperti sexual abuser dilakukan oleh psikolog forensik tanpa melibatkan ikatan emosional dan jaminan kerahasiaan yang lebih longgar, berbeda kan dengan kasus psikologi klinis biasa yang kerahasiaanya dijaga sangat ketat. Psychological autopsy harus dilakukan bila kasus kriminal tertentu diikuti dengan kematian atau tindakan bunuh diri. Selain itu, perlu adanya uji kebohongan, ketahanan emosi, geographical profiling, offender profiling yang harus dilakukan agar benar-benar mendapatkan bukti yang sesuai fakta dan mengorek adanya kebohongan. Kunci dari keberhasilan penyelesaian kasus sexual abuse adalah kesaksian korban itu sendiri karena seringkali korban merasa bersalah dan sulit untuk mengungkap kejadian yang sesungguhnya akibat adanya tekanan social judgement.

 

Daftar Pustaka

Canter, D. 2010. Forensic Psychology: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press

Human Dark Side: Efek Lucifer dalam Lingkungan Masyarakat

 

Foto credit : kharlamova_lv via vectorstock.com

 

Ini adalah cerita kita semua, manusia, sambil dengerin lagu Alan Walker yang berjudul Darkside seperti bercermin dengan diri sendiri. Kita tidak dapat menyangkal bahwa ada dua sisi utama yang bersemayam dalam jiwa manusia. Belas kasih dan kejahatan. Seseorang dapat dikatakan ‘baik’ bila sisi belas kasihnya berkembang secara dominan dalam melakukan penilaian atas suatu tindakan yang dilakukan dengan kata lain orang baik adalah orang yang bermoral. Bagaimana dengan seseorang yang terjebak dalam kemiskinan dan mencoba merampok sebuah supermarket untuk bertahan hidup? Bukankah bertahan hidup adalah hak setiap makhluk yang bernyawa?

Mari kita perhatikan definisi klasik kejahatan, bahwa kejahatan terdiri dari ‘sengaja berperilaku yang membahayakan, melecehkan, merendahkan, merugikan, dan menghancurkan orang lain’. Bagaimana jika saya berkata bahwa orang tersebut baik karena kemiskinanan bukanlah kejahatan, pun dengan bertahan hidup. Apakah betul pemilik supermarket itu rugi padahal kemungkinan telah mengambil laba lebih banyak dari hasil penjualan barang-barangnya? Pertanyaan terpenting adalah apakah memang terbersit keinginan merampok apabila orang tersebut diberi kekayaan? Poin kedua adalah kita sebagai manusia, seringkali melakukan hal-hal konyol yang secara tidak sadar membahayakan atau merusak diri sendiri, betul? Gak mungkin enggak karena sifat manusia berubah terus-menerus. Kenyataanya, pelaku kejahatan tidak selalu merupakan entitas supranatural atau monster atau pengaruh keduanya, mereka adalah manusia baik-baik yang hanya ingin diterima oleh orang lain. Entah bagaimana, manusia selalu ingin bernegosiasi dengan aturan. Orang yang baik dapat menjadi pelaku kejahatan ketika keadaan memungkinkan untuk melampaui batas-batas norma yang ada selama ini.

Sangat penting untuk tidak kehilangan pandangan hidup ketika ditempatkan pada atmosfir lingkungan yang buruk. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu kita selalu kalah dan akhirnya menerapkan sebagian nilai-nilai pada lingkungan buruk tersebut. Tidak lama ini istilah ‘kemiskinan struktural’ menguak begitu banyak kenyataan pahit kehidupan bahwa satu orang yang berada di lingkungan yang buruk tidak dapat mengubah keadaan secara keseluruhan kecuali sebagai pemutus mata rantai, menentang nilai-nilai yang buruk itu habis-habisan. Ditengah pandemi, warga dari kalangan yang terjerat ‘kemiskinan struktural’ merasakan sensasi dahsyat untuk melanggar berbagai banyak aturan yang diciptakan untuk kebaikan mereka sendiri. ‘Kejahatan’ yang dilakukan terlihat sepele, misalnya hanya berkerumun memperebutkan sembako untuk bertahan hidup. Sepele tetapi efeknya buruk untuk banyak orang, pun saya yakin mereka tidak ingin melakukan hal demikian karena kejahatan dibentuk oleh lingkungan yang menekan terus menerus untuk memaklumi hal yang tidak benar menjadi benar. Itulah yang dinamakan efek lucifer dalam dunia psikologi.

Sama halnya dengan kemiskinan, kekuasaan yang berlebihanpun dapat mengubah orang baik menjadi pelaku kejahatan. Tentu kita tahu tekanan kalangan elite tertentu membuat mereka tidak lagi mengenali hitam dan putih, hanya abu-abu. Zimbardo menjelaskan, dalam bukunya “The Lucifer Effect,” bahwa proses dehumanisasi tidak bisa dihindari. Situasi, dinamika sosial, dan tekanan psikologis dapat menyebabkan kejahatan bersemayam, tertidur dalam jiwa manusia yang sewaktu-waktu bangkit bila persepsi kita mengatakan ‘tidak apa-apa untuk melakukan ini, melanggar norma yang sudah tidak relevan lagi untuk kita’. Pada akhirnya integritas kita untuk berbelas kasih dan bermoral adalah satu-satunya cara untuk tidak menjadi ‘jahat’, tidak peduli seperti apapun kondisi lingkungan sosial kita.

Daftar Pustaka

Korstanje, M.E. 2013. Review of “The Lucifer Effect. Understanding How Good People Turn Evil”. Essays Philos 14:353-357

Cat & Dog: Cuteness & Intelligent Level

Kita semua tahu bahwa anjing dan kucing adalah hewan yang paling banyak dipilih oleh umat manusia untuk dipelihara. Hal yang kita tidak ketahui adalah kok bisa sih kucing dan anjing se-uwu itu? Apakah dari dulu genus Felis dan Canis memang berperilaku semacam itu? Artikel ini dibuat setelah saya dan seorang teman melakukan percakapan singkat yang membuat saya tertrigger. Pertanyaan itu cukup sederhana,

 

“Mengapa anjing lebih pandai tetapi kucing lebih lucu?”

 

Jika kita memahami kalimat diatas dengan logika dasar pemrograman, maka akan terdeteksi kesalahan syntax pada pertanyaan tersebut. Why? Kalimat tersebut mengandung dua perintah yang berlainan, pertanyaan sekaligus pembantahan. Skip ah, males bahas pemrograman karena saya lagi stuck di data structure Phyton dan itu bikin kesal. Gatal rasanya ingin saya berkata bahwa “weh anjing tuh cute banget lebih cute daripada kuchengg”, tapi tentu saja saya butuh argumen yang meyakinkan mengapa saya berpendapat demikian.

Bismillahirrahmanirrahim. Ehehe karena ini masuk ranah keilmuan saya, semoga ilmu ini tersampaikan sejelas-jelasnya dan karena suatu ilmu berdinamika, kesalahan pada artikel ini semoga dapat dimaklumi. Sip. Mari kita bahas tentang ‘Baby Schema Theory’. Kok ada baby baby segala? Konsep baby schema awalnya diusulkan sebagai sifat kekanak-kanakan dengan daya tarik tinggi bagi manusia, ditunjukkan untuk mendatangkan perilaku caretaking dan untuk mempengaruhi persepsi kelucuan dan perhatian. Pernah ga sih kalian berpikir bahwa ada bayi yang jelek? Of course none of them. Kita selalu berpikir bahwa baby is so hella cute. Istilah baby schema mengacu pada satu set fitur wajah (kepala besar dan wajah bulat, dahi tinggi dan menonjol, mata besar, dan hidung dan mulut kecil) umumnya ditemukan baik pada bayi manusia dan hewan. Coba kita kita lihat foto di bawah ini.

Visualisasi set fitur wajah manusia, anjing, dan kucing (Borgi dkk., 2014)

 

Berdasarkan eksperimen pengamatan gerakan mata para partisipan dengan melihat gambar beberapa spesies (manusia, anjing, dan kucing), menunjukkan baby schema memicu persepsi cuteness pada makhluk hidup yang lebih muda. Yaiyasih, banyak kan kejadian hewan yang lebih muda disayang pas udah gede dibuang. Sakiiitttt, cuy. Jadi jelas ya, sebetulnya bukan karena hewan itu uwu tapi memang persepsi kita yang membentuk bahwa objek/subjek tertentu itu uwu. Sekarang saya berani bilang bahwa anjing itu lebih uwuuuuuuuuuuu (pakai emoticon love love), ini bisa dibahas dalam ranah psikologi persepsi tapi bakal ga kelar-kelar artikelnya. So, next time, maybe? Ehehe. Perlu kalian tahu juga, pemilik hewan peliharaan menunjukkan perbedaan sifat kekanak-kanakan pada wajah daripada orang yang tidak memiliki hewan peliharaan. Gampangnya, konsep cuteness tidak hanya mencakup evaluasi sifat morfologi tertentu (level kelucuan, preferensi, daya tarik), tetapi juga melibatkan respon perilaku positif/sayang (respon lucu). Pantesan yaaa kalau kita sering nge-uwu-uwu-in orang, otomatis kita jadi uwuuuu. Patut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari nih, tips mudah menjadi uwu asal gak lebay aja yah.

Masih ada satu lagi nih pertanyaan yang belum terjawab, anjing vs kucing lebih pintar mana? Kalian pasti tahu cerebral cortex, bukan? Bagian terbesar otak, pusat intelegensi dan pikiran pada mamalia. Boleh nih kalau ada manusia yang ndak bisa mikir kita sebut secara spesifik wong-wongan nggak duwe cerebral cortex! Biar misuhnya ilmiah dan elegan ngunu. Selama masa evolusi, ada kejadian dramatis gaes, jadi perluasan area permukaan cortex ini disebabkan ukuran otak meningkat pesat tapi ketebalan cortex cuma naik dikiiiit aja. Penambahan volume cortex biasanya diikuti penurunan Neuronal Pack Density alias NPD. NPD buat apa sih? Ibaranya kalau situ lagi ada di suatu tempat mau ke tempat lain, nah tempat itu diibaratkan NPD dan jarak antar kedua tempat namanya Interneural Distance. Ngaruhnya? Semakin banyak NPD, semakin rapat jarak antar kedua neuron, neuron ini ibaratnya pusat kota, pusat segala hiruk pikuk pengetahuan. Nah kalau NPD rapat, maka kecepatan informasi akan lebih mudah dihantarkan oleh axon melewati interneural distance. Tapi nih, sayangnya kecerdasan lebih dipengaruhi oleh jumlah neuron. Jadi kalau situ punya NPD yang banyak tapi neuronnya sedikit, situ bisa dibilang sumbu pendek! Karena cepat memproses tapi ndak dipikir, so good kan analoginya.

Kucing punya berat otak yang lebih kecil dengan NPD yang lebih tinggi, sedangkan anjing memiliki berat otak yang lebih besar dengan NPD yang lebih rendah daripada kucing. Meskipun ngunu, anjing memiliki jumlah neuron dua kali lebih banyak (300-500 juta sel) dari pada kucing (160-250 juta sel). Jadi paham kenapa anjing lebih pintar? Karena jumlah neuronnya lebih banyak! Paham kenapa kucing suka malas-malasan? NPD nya banyak informasi cepat dihantarkan tapi karena neuronnya sedikit jadi malas lah buat ngikutin kemauan situ, mending rebahan, enak toh.

 

Daftar Pustaka

Borgi, M., Cogliati-Dezza, I., Brelsford, V., Meints, K., Cirulli, F. 2014. Baby Schema in Human and Animal Faces Induces Cuteness Perception and Gaze Allocation in Children. Frontiers in Psychology Vol 55: 411.

Dicke, U., dan Roth, G. 2016. Neuronal Factors Determining High Intelligence. Phil. Trans. R. Soc. B 371.

 

Mere Love Exposure to Quantum Physics

 

 

Foto credit : https://www.pri.org/stories/2017-07-25/love-quantum-physics-and-entanglement

 

 

Pernah gak sih kamu ngerasain ketertarikan yang semakin lama semakin kuat dari subjek/objek yang dalam jangka waktu cukup lama berada di sekitarmu? Dalam arti lain, pernahkah kamu terpapar subjek/objek yang mengubah persepsimu? Ga usah ngeles ya, sedetik dua detik pasti pernah kepikiran kan, apalagi kalau yang sering terpapar dengan dirimu itu seorang manusia. Ups, here we go. We gonna talk about sensitive things, human – and their feeling. But this time, I will convert it into something more scientific called ‘quantum physics’. Hehe kok bisa kepikiran?

 

Pertama-tama, kebingungan sama judul ini? Mere love exposure seems unfamiliar but believe me, ini terjadi hampir di setiap kisah cinta baik yang romantis maupun yang kandas tanpa ada kepastian ehehe. Ah, jangan kaget ini bukan serta-merta soal cinta-cintaan. Ini juga terjadi antara kamu dan hewan kesayanganmu! Paparan yang berulang dapat meningkatkan perasaan ‘tertarik’ subjek yang diberi stimulus tertentu. Jelasnya, subjek/objek yang ditemui lebih sering tampaknya mendatangkan perasaan tertarik, meskipun hanya sedikit atau tidak ada interaksi sosial benar-benar terjadi saat itu. Dalam kata lain, inituh kita lagi bahas ‘witing tresna jalaran saka kulina’ dengan gaya modern ya bambang, get it? Kenapa dibikin ribet istilahnya? Ya karena ini teori psikologi yang masuk ranah saintifik bukan lagi masuk ranah ‘petuah Jawa’.

 

Habis ini kita bakal bahas sesuatu yang lebih rumit, jadi siapin diri dan cemilan ya siapa tau lapar pas mikirin ini apalagi kalau terjadi ke kalian. Hehe. Kalau kalian berharap diakhir tulisan ini ada saran, saya ingin memupuskan harapanmu karena tidak ada sama sekali petuah yang bagus dari artikel ini. Mari kita berpikir, saran terbaik selalu datang dari dirimu sendiri, orang lain hanya membantu mengenali dirimu sendiri. Anjr, kok malah mulai ceramah. Mari kita mulai biar artikel ini gak kepanjangan.

 

Secara khusus, exposure dapat meningkatkan kesamaan antara yang dirasakan orang lain dengan diri kita sendiri. Kok bisa? Menurut Prinsip Ketidakpastian Heisenberg, sek sek Heisenberg itu siapa sih? Kalau belum kenalan, yok aku kenalin abang Werner Heisenberg. Beliau lahir tahun 1901, seorang fisikawan peraih nobel fisika tahun 1932, si jenius ahli fisika quantum dalam teori-teori sub-atom! Menurutnya, benda seperti koin, “memiliki” dua sisi dan hasil dari mengamati salah satu sisi sama sekali tidak mengubah koin, hanya pengetahuan kita tentang koin. Maksudnya gimana sih? Manusia sama seperti koin bahkan lebih luar biasa dari itu. Koin hanya punya dua sisi, kita manusia mungkin punya ratusan sisi yang hanya kita perlihatkan pada orang tertentu. Ibaratnya, menurut abang Heisenberg lagi ya, objek yang diamati dapat berupa partikel atom, molekul, atau subatomik, tindakan pengamatan yang kita lakukan tidak hanya mengubah probabilitas, tetapi juga mengubah objek itu sendiri. Yak, udah pusing belum?

 

Jadi begini, pada saat pertama kali bertemu seseorang kita hanya ingin tahu sisi yang ingin kita amati betul? Apakah pengetahuan kita tentang orang tersebut mengubah dia? Tidak sama sekali, dengan kita mengetahui sesuatu dalam diri seseorang tidak mengubah apapun tentang orang tersebut. Namun, perlu digarisbawahi ya, tindakan yang kita lakukan terhadap pengamatan dan pengetahuan yang kita ketahui dari orang tersebut akan mengubahnya! Yep, gini contohnya jangan dipraktekin ya ladies and gentlemen. Misalnya, si A orangnya begitu cuek dan cool, dan kamu tau tentang itu. Kamu tidak tahu bahwa dia sangat mudah luluh bila seseorang memperhatikan hal-hal kecil tentangnya. Tebak apa yang mau kamu lakukan? Hanya sekedar tahu bahwa dia itu cuek? Bodo amat? Ataukah kamu mengambil langkah untuk memberi perhatian padanya? Kalau kamu mengambil langkah terakhir, bersiaplah itu akan mengubah orang tersebut dan tentunya mengubah persepsimu! Slowly, slowly mere love exposure will hit you both. Ehehe kok kesannya serem ya.

 

Kita semua perlu tahu bahwa ada ikatan spiritual yang terjadi antara segala sesuatu di alam semesta dan bahwa kita semua adalah bagian dari kecerdasan Ilahi. Menurut fisika kuantum, dunia fisik dan kenyataannya itu hanya ‘subjek yang teramati’. Tubuh dan realitas diciptakan melalui pengalaman di dunia dalam berbagai manifestasi dimensi. Dalam keadaan penting (atom atau sub-kuantum mikrokosmik), kondisi yang sesungguhnya tubuh terbuat dari energi dan informasi, bukan materi padat, yang timbul dari energi dan informasi tak berujung mencakup seluruh penciptaan alam semesta. Hubungannya sama mere love exposure, bambang? Kuncinya ada pada energi dan informasi, catat ya! Frekuensi paparan meningkat apabila kita terus menerus mendapatkan informasi tentang satu subjek dalam jangka waktu tertentu dan tetap konstan bila mendapatkan infromasi mengenai subjek yang berbeda-beda. Artinya, seorang manusia akan menyimpan salinan infromasi dan menerima energi yang serupa dengan manusia yang sering kita temui sehari-hari. Yaiyalah, kalau kamu ketemu pacar setiap hari kamu gak hanya menyimpan informasi soal makanan kesukaanya tetapi juga perasaan bahwa dia sedang selingkuh meningkat tajam kan? Itu karena kamu menyimpan sebagian informasi dan energi yang dia punya, sebagian dirinya ada dalam dirimu, sebagian dirimu ada di dalam dirinya. Ugh, so sweet. It’s so called familiarity.

 

Efek exposure memainkan peran yang lebih luas dalam persepsi orang daripada yang dicurigai sebelumnya. Exposure dari orang lain maupun hewan kesayangan meningkatkan kesamaan yang dirasakan serta hal-hal yang disukai, dan bisa kamu bayangkan akan mempengaruhi banyak penilaian sosial lainnya yang berhubungan dengan daya tarik interpersonal. Sungguh rumit ya alasan kenapa ada pepatah ‘witing tresna jalaran saka kulina’ ini. Berhubung saya sendiri bukan ahli fisika, rasanya kurang ahli membahas lebih jauh tentang fisika kuantum. Kita akhiri saja ya, lagipula ini sudah jam makan siang! Saya jadi ingat hari ini menu makan siangnya terong, setelah masuk kuliah saya sering sekali memakan terong padahal sebelumnya tidak suka. See, mere love exposure affects us in every matters. I love terong karena cintaku kepada terong ‘witing tresna jalaran saka kulina’. Sekian dari saya, semoga kamu bisa memahami dia seperti kamu memahami cara kerja fisika kuantum. Ehehe.

 

Daftar Pustaka :

Moreland, R. L. 1982. Exposure Effects In Person Perception: Familiarity, Similarity, and Attraction. Journal of Experimental Social Psychology 18, 395-415

Valverde, R. 2016. Possible Role of Quantum Physics in Transpersonal & Metaphysical Psychology Journal of Consciousness Exploration & Research Volume 7: Issue 4 | pp. 303-309

Wolf, F. 1985. The Quantum Physics of Consciousness: Towards a New Psychology. Integr. Psychiatry 3:235

Global Citizenship, Locally Rooted Globally Respected

 

In globalization era where there is no strict restriction to communicate with other people in all over the world, people tend to be part of world community and society. Thus, people in all over the world are notonly part of their rural, city, province, or even nation citizen but also part of the world citizen and nowadays it is called global citizenship.Global citizenship is a sense of duty to make a welfare for the world, take action for a fairer place, care and protect the Earth. Global citizen means people who be part of global interaction and be able to do something influential for all people in the world.

Global citizenship leads the world to systemic changes. Political, economic, cultural and social changes grow a self-awareness to be more competence and responsible towards other human beings. It bears ways of thinking how to live with cross-cutting communities despite their cities, regions, states, nations, cultures, races, and languages. It has been character of human beings to share a balanced against the differences that are so conspicuous. The differences between human beings in the world are their identity to understand their trully-self origin. It means although people are part of the world communities, people should be proud of their cultural identity and local place where they are raised as each people were born in a given place which God wants them to participate for a better place, for a better world.

Those begin with interactions and knowledges that can only be learned through education. It is the key to reach achievements internationally and to sustain local wisdom in globalization era. People will learn how to grow cultural empahty and intercultural competence as cultural empathy leads people seeing human from different perspective, bringing curiousity of their own identities, and experience unfamiliar cultures. In case, if people around the world is curious enough to experience our culture, why don’t we proud of our local wisdom?

Sustaining local wisdom as our true identity makes the world see an existing of a uniqueness culture from a land where we are born. Since our local wisdom teaches to be a polite human being, respect living things, healthy living things, follow the rules, tolerance, unity, emphasizing other people importance, and togetherness. All we can see on Pancasila as our nation identity, many can be learned and can inspire others as if we show the world our trully identity. Additionally, as student which have identity as Gadjah Mada State Univeristy student, gaining multi-competences and intercultural for global welfare is a duty that leads us being a respected global citizens.

 

References :

Green, Madeleine. “Global Citizenship: What Are We Talking About and Why

Does It Matter?” Trends & Insight For International Education Leaders. 2012. Nafsa.org. https://www.nafsa.org/ _/ti_global_citizen.pdf. (diakses Juli, 22 2016).

Rodrik, Dani. “The Globalization Paradox.” Making It, 4 Mei 2011: 25. Malta:

UNIDO.

Vodopivec, Rene Susa and Barbara. 2011. National Identity in the Context of

Global Citizenship Central and South Eastern Europe and the EU Mediterranean Countries. Slovenia: SLOGA